Jumat, 26 Januari 2018

Abah


“Terimakasih, mohon mengisi nomor hp dan tandatangan di sini. Atas nama siapa ya?”, ungkapku kepada sosok pemuda berbaju putih itu.
“Abi” Jawabnya.
“Abi? Abidin? Atau Abimanyu?”, tanyaku memperjelas.
“Afwan, Nama saya Abi Dzar Al Ghifari”, jawabnya dengan sopan.
Aku pun mencari namanya di daftar hadir peserta manasik haji. Tapi berkali-kali kucari tetap tidak ada.
“Maaf,Mas. Mohon menulis lagi di baris paling bawah ya! Nama Mas belum ada”, kataku.
Pemuda berkulit putih dan berhidung mancung itu pun menuliskan namanya.Kemudian aku sibuk melayani calon jamaah haji yang lain. Sudah menjadi tugasku setiap hari Ahad membantu paman di kegiatan KBIH yang diasuhnya. Dan disitulah aku bertemu dengan mas Abi.

Sejak saat itu aku dan mas Abi mulai mengenal satu sama lain. Hingga lima bulan kemudian dia mengkhitbahku untuk menjadi istrinya. Aku menyambutnya dengan baik. Siapa yang tak bersyukur mendapatkan suami yang tampan, bertubuh jangkung, pinter, alim, dan berakhlak baik. Siapapun pasti akan dengan senang hati menerimanya. 

Singkat cerita, setelah pernikahan, hari-hari kami lalui dengan bahagia. Hingga setahun setelah pernikahan kami, dokter menyatakan aku positif hamil. Alhamdulillah.
“Mas, mas suka dipanggil bapak, ayah, atau abi?”, tanyaku saat dia menemaniku memasak di dapur.
“Abah”, jawabnya pasti.
 Pranggg...!! Seketika gelas yang kupegang jatuh.
“Umiii.... hati-hati dong Mi..! Ada apa kok sampai kaget begitu?” tanya Mas Abi.
“Aku ga mau panggilan itu Mas. Kumohoon...!”
“Ada apa? Kan sama dengan panggilan umi kepada abah kan?”
“Justru itu mas. Aku sudah kehilangan abah untuk ketiga kalinya. Dan aku ga mau kehilanganmu mas”
“Umi.. hidup dan mati itu di tangan Allah. Bukan karena panggilan abah atau abi”
“Ga mas. aku mohon ijinkan aku manggil Abi aja yaa!”
“Tidak Umi. Masak anakku manggil aku sprti manggil nama aja?” kata mas Abi sambil tertawa.
“Ya sudahlah. Dipanggil ayah aja ya?” aku masih merajuk.
“Sejak dulu, aku sudah bercita-cita untuk dipanggil abah oleh anak-anak. Sebagaimana aku memanggil abah serta mengidolakannya. Ijinkan aku mewujudkannya ya Mi..!” katanya memohon.
Akupun dengan berat hati akhirnya mengangguk.
Sebenarnya bukan sekedar masalah sebutan ayah atau abah. Namun, aku agak trauma.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar