Sabtu, 27 Januari 2018

Quote 2



Mengubah rasa cinta menjadi benci itu jauh lebih mudah daripada mengubah rasa benci menjadi cinta.

So, hati-hati dengan HATI. 😊

Quote 1

Mengakui keberadaan orang lain adalah bagian dari memanusiakan manusia. 😊

Akui keberadaan mereka ada. Setiap orang bahkan anak kecil pun, suka dihargai. Istilah jawanya di-uwong-ke. :)

Belajar dari Elang (II)

Transformasi Elang

Elang memiliki kemampuan terbang yang sangat tinggi. Elang bahkan membuat sarang di ketinggian. Padahal seperti diketahui bahwa di ketinggian, angin selalu bertiup sangat kencang. Tak hanya itu. Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu, seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke-40.

Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan saat terbang.

Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan. Suatu proses transformasi yang panjangnya selama 150 hari.

Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya,kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu.
Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.

Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh.
Elang mulai dapat terbang kembali.
Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi...!

(dari berbagai sumber).

Sahabat..

Terkadang kita memang harus mengambil keputusan yang sangat berat demi sebuah tujuan yang mulia. Kita harus berani melepaskan sesuatu yang bagi kita sangat penting dan berharga. Bahkan terkadang harus rela melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai.


Ada saatnya kita perlu melepaskan beban lama dan membuka diri dengan hal-hal yang baru jika kita ingin maju. Tidak mudah memang. Perlu perjuangan yang luar biasa dan mungkin menyakitkan. Karena kendala terbesar untuk berubah adalah justru dari dalam diri kita sendiri.

Jangan biarkan masa lalu melayukan harapan kita. Perubahan pasti terjadi. Tentukan sikap menghadapi dinamika hidup ini.

Kita harus rela meninggalkan zona nyaman agar dapat memulai terbang lagi meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Selamat meraih sukses!

Belajar dari Elang


Belajar dari Elang Kecil

Elang merupakan unggas yang mampu terbang jauh dengan kecepatan hingga 160 km per jam dan dapat mencengkram mangsanya dengan cakarnya yang kuat. Paruhnya yang tidak bergigi tetapi memiliki bentuk yang bengkok dan kuat, sanggup untuk mengoyak daging mangsanya. Daya penglihatan seekor elang dapat mencapai 5 km. Namun, meski elang mewarisi kemampuan-kemampuan yang kuat tersebut secara genetik, bukan berarti mereka tidak berlatih dan berjuang saat masih kecil.
Elang kecil mulai berlatih terbang saat mencapai usia 2 atau 3 bulan. Beberapa bahkan lebih cepat, terutama bagi elang kecil yang tidak suka berbagi sarang dengan saudaranya. Saat awal belajar terbang pasti mengalami jatuh-bangun. Tak ada satu burung elang pun yang langsung sukses terbang saat pertama kali mencoba.

Pada beberapa kasus, ada elang muda yang takut keluar sarang dan belajar terbang. Maka orang tuanya akan terbang di sekeliling sarang sambil memancing anaknya dengan makanan favorit. Jadi tak benar pendapat yang mengatakan orang tua elang sengaja menendang anaknya agar berani terbang.

Bagaimanapun, seekor elang muda harus punya keberanian untuk keluar dari sarangnya yang nyaman. Karena pada usia sekitar 6 bulan elang muda harus bisa terbang sendiri tanpa pengawasan orang tuanya lagi. Mereka juga belajar mencari umpan dengan melihat serta mengikuti orang tuanya saat berburu. Mereka belajar terbang tinggi, mengintai, lalu terjun secepatnya mencengkeram mangsanya (disarikan dari berbagai sumber).

Sahabat..

Bisa jadi kita adalah salah satu keturunan orang hebat. Bisa keturunan presiden, Ulama, pahlawan, ataupun tokoh nasional. Atau bisa jadi keturunan bangsawan, ningrat, orang sakti atau orang kaya. Namun, bukan berarti kita berbangga diri dan merasa cukup dengan mewarisi nama besar mereka. Kita harus belajar dan berlatih mengasah potensi yang kita miliki. Situasi dan lingkungan yang kita hadapi tidak selalu sama dengan yang dihadapi orang tua kita. Kita harus siap dengan kenyataan dan situasi di lingkungan sekitar kita, serta menghadapinya dengan penuh keberanian. 

Jangan menyerah pada keadaan. Ibarat elang kecil yang sedang berlatih terbang, saat jatuh dia bangun lagi. Bisa jadi kita gagal dalam suatu hal, namun jangan menyerah. Banyak potensi dari manusia yang dapat dikembangkan. Andaipun kita gagal dalam satu aspek kehidupan, Allah akan memberi kesuksesan di aspek yang lain. Saat menghadapi masalah, kita memiliki dua pilihan: menyerah dengan keadaan atau berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi realitas, melakukan sesuatu dengan kerja keras dan keluar sebagai pemenang. 

Kita harus berani untuk keluar dari zona nyaman.  Seperti elang yang harus berani keluar dari sarangnya yang nyaman, untuk terbang ke angkasa hingga menjadi tangguh dan berani.  Hanya dengan keberanian melakukannya, kita bisa mengetahui dunia yang luas, dan bisa terbang tinggi mencapai apa yang kita impikan.

Surga yang Dipaksakan

Hujan baru saja reda. Air menggenang di beberapa bagian halaman sekolah. Tampak dedaunan yang gugur memenuhi halaman. Di teras sekolah yang masih basah itu, ada empat siswi yang masih berkelakar sambil menunggu mobil jemputan. Aini, Fitri, Ida, dan Yaqina. Mereka berempat tinggal di pesantren Raudlatul Ulum, sekitar lima kilometer dari sekolah ini.

Wajah Yaqina tampak paling bercahaya dibanding ketiga temannya. Siapa yang tak kenal Yaqina. Gadis berkulit putih, berhidung mancung,  dengan lesung pipit yang semakin menyempurnakan kecantikannya.  Kulit putihnya seakan berwarna bening transparan, hingga membuat otot-ototnya terlihat.  Tak hanya itu, Yaqina juga baru saja mendapatkan gelar Pelajar Teladan di sekolah ini.

Sementara itu, di ruang asatidz yang sudah mulai sepi, tampak seorang pemuda yang tak berhenti memperhatikan Yaqina. Pemuda yang bernama Azmi itu baru melaksanakan penelitian di sekolah ini. Azmi sudah lama mendengar nama Yaqina, anak pesantren itu. Azmi masih ingat kekonyolannya waktu pertama kali masuk di kelas XIA. Tanpa basa-basi, setelah memperkenalkan diri, Azmi langsung bertanya, "Mana yang bernama Yaqina?". Pertanyaan yang spontan membuat heboh kelas XIA.
(Bersambung)

Jumat, 26 Januari 2018

Abah


“Terimakasih, mohon mengisi nomor hp dan tandatangan di sini. Atas nama siapa ya?”, ungkapku kepada sosok pemuda berbaju putih itu.
“Abi” Jawabnya.
“Abi? Abidin? Atau Abimanyu?”, tanyaku memperjelas.
“Afwan, Nama saya Abi Dzar Al Ghifari”, jawabnya dengan sopan.
Aku pun mencari namanya di daftar hadir peserta manasik haji. Tapi berkali-kali kucari tetap tidak ada.
“Maaf,Mas. Mohon menulis lagi di baris paling bawah ya! Nama Mas belum ada”, kataku.
Pemuda berkulit putih dan berhidung mancung itu pun menuliskan namanya.Kemudian aku sibuk melayani calon jamaah haji yang lain. Sudah menjadi tugasku setiap hari Ahad membantu paman di kegiatan KBIH yang diasuhnya. Dan disitulah aku bertemu dengan mas Abi.

Sejak saat itu aku dan mas Abi mulai mengenal satu sama lain. Hingga lima bulan kemudian dia mengkhitbahku untuk menjadi istrinya. Aku menyambutnya dengan baik. Siapa yang tak bersyukur mendapatkan suami yang tampan, bertubuh jangkung, pinter, alim, dan berakhlak baik. Siapapun pasti akan dengan senang hati menerimanya. 

Singkat cerita, setelah pernikahan, hari-hari kami lalui dengan bahagia. Hingga setahun setelah pernikahan kami, dokter menyatakan aku positif hamil. Alhamdulillah.
“Mas, mas suka dipanggil bapak, ayah, atau abi?”, tanyaku saat dia menemaniku memasak di dapur.
“Abah”, jawabnya pasti.
 Pranggg...!! Seketika gelas yang kupegang jatuh.
“Umiii.... hati-hati dong Mi..! Ada apa kok sampai kaget begitu?” tanya Mas Abi.
“Aku ga mau panggilan itu Mas. Kumohoon...!”
“Ada apa? Kan sama dengan panggilan umi kepada abah kan?”
“Justru itu mas. Aku sudah kehilangan abah untuk ketiga kalinya. Dan aku ga mau kehilanganmu mas”
“Umi.. hidup dan mati itu di tangan Allah. Bukan karena panggilan abah atau abi”
“Ga mas. aku mohon ijinkan aku manggil Abi aja yaa!”
“Tidak Umi. Masak anakku manggil aku sprti manggil nama aja?” kata mas Abi sambil tertawa.
“Ya sudahlah. Dipanggil ayah aja ya?” aku masih merajuk.
“Sejak dulu, aku sudah bercita-cita untuk dipanggil abah oleh anak-anak. Sebagaimana aku memanggil abah serta mengidolakannya. Ijinkan aku mewujudkannya ya Mi..!” katanya memohon.
Akupun dengan berat hati akhirnya mengangguk.
Sebenarnya bukan sekedar masalah sebutan ayah atau abah. Namun, aku agak trauma.

(Bersambung)